Drs. KH Ahmad Shonhaji Chalili
Perjalanan ke arah Jalan Raya Mauk, Tangerang, Banten, di Minggu siang itu cukup lengang. Padahal di hari kerja, lalulintas ke arah atau dari lokasi tersebut sangat padat. Maklum daerah itu terkenal sebagai wilayah industri nan padat penduduk.
Sangat berbeda kondisinya dua puluh tahun lalu saat KH. Ahmad Shonhaji Chalili menancapkan kaki di tanah itu, yang kondisinya masih agak sepi belum seramai saat ini. Dari jalan raya yang padat itu tak dikira ada sebuah lembaga dakwah megah yang berdiri di balik sisi jalannya. Namanya Pondok Modern Daarul Muttaqien yang didirikan KH Ahmad Shonhaji pada 3 Juli 1989, kini telah mampu menampung ribuan santri penerus perjuangan umat.
Melihat kemegahan pesantren di pojok Kabupaten Tangerang itu, akan sulit menyangka bahwa pengasuhnya dulu seorang pedagang batik keliling yang sukses.
Dengan bekal kuat meluruskan niat, ia mulai perjuangan membangun lembaga itu dengan segala tantangannya. “Saya menimba ilmu ini (meluruskan dan membulatkan niat) seperti diajarkan atau dilakukan para guru, ulama dan kiai yang pernah saya kunjungi,” nasehatnya kepada seluruh santri-santrinya
Pengalamannya malang melintang mengajar di beberapa pondok pesantren dari Madura hingga Jakarta, menambah bekal dirinya untuk kian mapan mengemban risalah pengabdian umat membina pesantren. Pada kurun 1975-1979, ia mengabdi di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura, yang mendidik dasar kepondokannya. Tahun 1980 ia pernah mengajar di Pesantren Darut Taqwa Cibinong, dan di Pondok Pesantren Darur Rahman, Jakarta pada 1981.
Ayah tiga putra ini mengungkapkan, sebelum mendirikan pesantren, ia berkelana ke berbagai daerah. Hasilnya, ia menemukan banyak pengalaman berharga. Terutama saat menimba ilmu pada KH. Dadung Sanusi, pengasuh Pondok Pesantren Sunanul Huda Sukabumi, KH. Zaini Zainuddin, Pengasuh Pesantren Darut Taqwa Cibinong, dan KH. Syukran Makmun Pengasuh Pondok Pesantren Darur Rahman Jakarta.
Karena sadar dirinya lahir dari keluarga tak mampu, maka sejak muda, kiai yang akrab disapa Kiai Shonhaji ini terinspirasi untuk berbisnis. Suami bagi Hj Halimatus Sa’diyah itu selalu berpikir bagaimana menjadi orang sukses. Dan semasa tinggal di Jakarta, Shonhaji muda tak sungkan berdagang batik Solo. ”Setelah mengajar, saya keliling door to door menawarkan batik,” kenangnya.
Nasib berpihak pada dirinya. Bisnis batiknya meningkat pesat. Dari batik ia beralih ke bisnis intan dan berlian. Kemudian meningkat lagi menjadi pedagang otomotif.
Hingga kini, Shonhaji tetap berbisnis. Ia buka lahan empang ikan bandeng dan mas. Luas empangnya kurang lebih 1,2 hektar di daerah Kramat, atau 15 km dari desa Mauk, tempatnya membina pesantren. “Saya juga gemar berinvestasi sayur-mayur, tempe dan tahu,” ujarnya yakin.
Kendati bisnisnya kian hari kian berkembang, namun ia lebih menekuni dunia pesantren. Bisnis baginya hanya sekadar sampingan. Ia selalu berpesan kepada para santrinya, ”Kalau ingin menjadi orang sukses, pertama harus istiqamah. Sebab dari istiqamah akan lahir kesuksesan.”
Mulai dari Nol
Lembaga yang ia rintis benar-benar dari nol. ”Belum ada murid. Belum ada apa-apa. Bangunan pun tak ada!” kenang alumni pertama (1979) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura itu. Kondisi daerah Mauk sangat sepi, dan belum banyak orang menghuni wilayah itu. Maka sebelum mendirikan bangunan, ia pancangkan dulu papan reklame Pesantren Daarul Muttaqien di pinggir jalan.
”Niatnya, saya ingin mengetahui apakah masyarakat sekitar memerlukan pesantren,” tegas pria kelahiran 24 September 1957, di Prenduan Sumenep Madura itu. Bangunan belum selesai, papan reklame sudah dibaca orang, dan banyak orang datang menanyakan kapan pesantrennya akan dibuka.
Melihat respon tinggi masyarakat disertai basmalah, Shonhaji mulai menerima santri. Jumlahnya baru sekitar 15 orang yang langsung dimukimkan. Sebagian besar santri barunya adalah anak didiknya di Madrasah Nurul Falah, yang terletaknya di depan pesantren.
Kiprahnya sebagai guru yang enerjik di madrasah itu mendorong para orangtua mau mempercayakan anaknya dididik Shonhaji di pesantren Daarul Muttaqien. ”Siswa kelas VI di madrasah itu saya beri kegiatan ekstra-kurikuler, seperti pelajaran tilawatil-qur`an dan muhadharah,” ujar menantu KH Syukari bin H. Rodin ini.
Bersama lima orang guru, termasuk dirinya, Shonhaji istiqamah mengembangkan pesantren yang masih tingkat tsanawiyah itu. Infromasi keberadaan pondok pesantren itu menyebar dari mulut ke mulut, dari desa ke desa hingga seluruh wilayah Tangerang.
Obsesi KH Shonhaji cukup sederhana. Ia ingin pesantren yang ia rintis ini langgeng dan maju. Tapi bukan lantaran pimpinan atau kiainya, melainkan karena kualitas lembaganya. Terutama alumni yang berkiprah di tengah masyarakat.
Hingga kini, Pondok Modern Daarul Muttaqien telah menerima angkatan ke-18 dan sukses meluluskan ribuan santri. Setiap angkatannya terdiri dari 200 alumni, berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Seperti Jambi, Palangkaraya, Sampit, Medan, Sulawesi, Bangka, Batam dan sebagainya.
Para alumni umumnya melanjutkan ke beragam perguruan tinggi di tanah air dan mancanegara. Seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Serang, Universitas Muhammadiyah Jakarta, STAI Fatahillah, hingga program S2 di Universitas al-Azhar Kairo Mesir.
Sambil merendah,KH.Ahmad Shonhaji merasa pesantrennya maju dan berkembang secara evolutif dan alami, tanpa rekayasa. Sebab ia mensinyalir, tak sedikit lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang maju dan berkembang lantaran ”disuntik” dana dari luar negeri. Atau karena pimpinannya dikenal sebagai tokoh besar. Atau karena didirikan kalangan konglomerat.
Pesantrennya, imbuh KH.Ahmad Shonhaji, tidak berdiri seperti itu. “Darul Muttaqien maju, berkembang, dan bergerak dengan sendirinya, dibantu beberapa wali santri, termasuk para jamaah yang saya bina,” tandas pengasuh pondok pesantren yang resmi berdiri pada 3 Juli 1989 itu. Luas pesantrennya terus bertambah, dari mulanya 3000 meter kini menjadi 7000 meter, terletak di Jl Raya Mauk, Km 7 Cadas Sepatan Tangerang, Banten.
Dan Alhamdulillah seiring perkembangannya, Pesantren Modern Daarul Muttaqien kini telah mendirikan cabang " kampus 2 " di daerah Ilat Pangadegan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang dengan luas pesantren 4 Ha dengan jenjang pendidikan SMP dan SMA yang diresmikan pada tanggal 1 Mei 2011 dan telah dibuka pula STIDA ( Sekolah Tinggi Islam Daarul Muttaqien ).........puji syukur tak terhingga
Alhamdulilllah..
BalasHapusKesempurnaan Allah swt. Adalah karunia terbesar bagi umat Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan penerangan jalan hidup sehingga umat dapat menelaah ungkapan puji syukur kepada Allah swt. Atas karunia Nya memberikan tahapan kesempurnaan pendirian pondok pesantren Daarul Muttaqien. Tanpa keberadaan DM apalah makna perjalanan yang tidak bertapak pada zaman sekarang ini penulis menyadari pentinnya peran pengasuh terhadap masyarakat dan khususnya kepada penulis sehingga dapat tetap sinambung dalam menggali ilmu yang didapat di DM (edensa). Besar harapan penulis dapat merealisasikan secara nyata dan besar tanpa campur tangan sodokan dana luar negeri kecuali hanya dari para jemaah dan para wali santri yang simpatis agar Perguruan tinggi STIDA menyesuaikan stokeholder dan para lulusan dapat membukan resonansi permasalahan dilingkungan baik secara umumnya. Atas perkenannya penulis mengucapkan terimakasih. Semoga pengasuh (K.H. Ahmad Shonhaji) selalu dilimpahkan nikmat sehat wal afiat. Wassalam
alhamdulillah.....pesantren yg dulu aku pernah khidmah dan menimba banyak ilmu dan pengalaman kini sudah jadi besar....semoga tetap istiqomah ila yaumilqiyamah.....aaamin....Assalamu alaikum buat keluarga besar PP Daarulmuttaqien...saya kangen...kapan bisa silaturrahmi ke sana ya...
BalasHapus